Walaupun sedang dalam musim semi, dari jendela saya masih bisa menyaksikan batang-batang pohon-pohon yang masih polos tanpa daun, bunga atau buahnya. Spring kali ini, belum juga saya menyaksikan atau mendapati putik-putik yang sedang merekah, atau pucuk-pucuk daun yang mulai menghijau, siap kembali merimbuni cabang dan ranting pohon. Biasanya dalam perjalanan pulang dari sekolahnya, saya dan si sulung akan memunguti ranting-ranting yang terlihat menarik. Atau jika masih tersisa daun kering, si sulung saya akan memungutinya untuk digunakan ‘lebih lanjut’, entah untuk sekadar disimpan di sela buku atau ditempel untuk mengetes bakat seninya. Saya akan selalu senang dan mendukungnya, ikut memilihkan daun mana yang pantas masuk dalam koleksinya, ranting mana yang bisa di’akali’ menjadi suvenir ala si sulung saya. Terkadang kami masih menemukan bangkai putik-putik bunga atau bakal buah. Atau bahkan hanya sekadar melihat-lihat barangkali bisa menangkap basah tupai dan kadal. Semuanya menjadi sangat menyenangkan.
Sama seperti batang-batang pohon di belakang flat kami yang terlihat berjejer tak beraturan, menampakkan masing-masing cabang dan rantingnya, ada yang terlihat lebih langsing atau lebih pendek atau lebih gemuk dibanding pohon sejenisnya. Selalu ada perasaan lain setiap kali menyaksikan pohon-pohon tersebut. Terutama saat musim gugur, di saat daun-daun menguning atau yang coklat dan merah berguguran dan mulai menutupi tanah, mengering dan terlihat begitu alami menyatu dengan keindahan sekitarnya. Menurut saya, mereka terlihat lebih artistik dan berkarakter dibanding saat rimbunan dedaunan dan bunga atau buahnya menutupi wujud asli mereka. Sejenak mereka seperti mengingatkan saya kepada sosok manusia-manusia. Daun-daun mereka ibarat pakaian akhlaq mereka. Ada yang daunnya hijau rimbun dan rindang, tapi ada pula yang jarang dan mudah berguguran. Ada yang buahnya tampak ranum dan lezat, ada yang ternyata rasanya masam, ada yang tidak berbuah atau bahkan malahan berbahaya untuk dimakan. Manakala musim gugur dimana seluruh daunnya luruh akan tampak sosok-sosok pohon yang sesungguhnya. Yang kayunya penuh ulir yang indah, yang terlihat muda atau tua, tampak sehat atau sebaliknya mulai ditumpangi fungus. Apalagi jika menyaksikan mereka dari balik jendela mobil, seolah-olah seperti sosok-sosok yang saling berkejaran.
9 Dzulhijjah, sore hari, angin berhembus sejuk. Ingatan saya melayang kepada para tamu Allah yang besok akan menyempurnakan hajinya di tanah Haram. Di antara lautan putihnya ihram, ada orangtua, paman, bibi, saudara, sahabat, kenalan dan anak-anak yang kita cintai. Mabuk dalam kerinduan kepada Ar Rahman Ar Rahiim dan kekasihnya Salallahu ‘alaihi wassalaam, tenggelam dalam gelombang dzikir dan doa yang tiada putus, bertahan dalam biduk iman dan ihsan, berupaya berlabuh di dermaga keberhasilan seorang haji atau hajjah mabrur. Puncak prestasi seorang muslim, dunia dan akhirat. Subhanallah! Dan apa lagikah ganjaran bagi seseorang yang meraih kemabrurannya, yang berhasil melakukan jihad utamanya, selain jannah?
10 Zulhijah, dini hari, saya terbangun dan mengintip dari balik tirai. Allahu Akbar! Salju kembali turun pada saat musim panas telah menjelang! Dan pada pagi harinya, semua telah tertutup selimut kapas putih nan dingin. Bergegas saya ke jendela belakang untuk memperoleh pemandangan yang lebih leluasa, untuk kemudian mendapati pepohonan di sana telah kuyup terselimuti salju. Layaknya manusia, mereka seperti berihram, personifikasi para hamba Allah. Tiba-tiba bulu roma saya meremang, membayangkan jika saya berada di tengah-tengah pepohonan yang sesungguhnya, di antara para hambaNya, di depan Baitullah. Sesungguhnya hingga hari ini saya masih hanya mendengar kisah-kisah haru dan mistis seputar haji. Cuma menyaksikan dari televisi saat mereka sedang berthawaf, berlari antara Shafa dan Marwah, atau melempar jumrah. Saya ingat kata-kata seorang sahabat yang saya hormati dalam suratnya. “Sungguh, haji itu nikmat.. haji itu tenteram. Saya rindu untuk kembali ke sana. Untuk kembali menyadari betapa tiada berartinya saya dibanding segala Rahman RahimNya, betapa kecilnya saya dibanding Dia yang Maha Besar dan Segala. Untuk kembali merasakan arti tangisan yang sesungguhnya…”
Tahun ini mungkin saya belum diberi kesempatan untuk berjamaah di depan Baitullah. Sampai tahun haji depan atau tahun berikutnya, siapa tahu rezeki dan umur saya sampai pada giliran saya, siapa tahu Allah berkehendak saya berangkat. Hari ini hingga tahun haji depan, saya cuma punya waktu setahun hijriyah untuk menyiapkan diri, menyongsong panggilan Allah, berupaya menyempurnakan iman, dengan satu tujuan: menjadi haji mabrur. Tidak gampang tapi harus, tentu dengan istiqamah dalam niat, lidah dan tindakan, selain setiap hari harus terus menggerus noda dan daki dari hati. Karena setiap hari sesungguhnya juga adalah persiapan menghadapNya.
Sore hari, salju telah mencair. Hampir seluruhnya. Seperti para haji dan hajjah yang kembali bersiap pulang ke tanah air, ke lahan pengabdian, ke rumah masing-masing. Kembali mengenakan daun-daun masing-masing yang sebelumnya ditukar dengan ihramnya. Untuk menjadi pohon sebaik-baik pohon
“Yang akarnya teguh menghunjam ke bumi, kayunya indah dan tahan lama, cabangnya teguh dan daunnya rindang menaungi siapa saja yang lewat, dengan buahnya yang ranum dan lezat sanggup menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Sungguh tiada dari bagian dirinya yang menjadi sia-sia. ”
Amin. Wallahu a’lam bisshawwab
sumber: dakwatuna
Tags:
muslim